makalah
Filsafat dan bahasa
di susun oleh : wahyudi
dosen pembimbing : rasikhul islam M.Pd.I
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
“tiada kehidupan tanpa sebuah
bahasa” dan “tiadasebuah cinta tanpa adanya filsafat”
Bahasa dan filsafat berjalan
berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari
hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada,
begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan
hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah
melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak
terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu..
Minat seseorang terhapad kajian
bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya
retorika corax dan cicero pada zaman yunani dan romawi abad 4 – 2 sm hingga
saat ini (post modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang
sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa
dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan sebagai suatu hal yang baru. Istilah
muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat
logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk
mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan
filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan
yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu : 1) filsafat mengenai
bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini,
akan dibahasa lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun
garis-gari besar yang dibahas yaitu : spekulasi asal-usul bahasa, defenisi
bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat,
hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat
terahadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahasa
BAB II
Pembahasan
A. Spekulasi asal-usul bahasa
Kendati
setiap manusia berbahasa dan melalui bahasa mereka dapat berinteraksi dengan
yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta bahasalah yang membedakan
manusia dengan makhluk ciptaan tuhan yang lain, tidak banyak orang memberikan
perhatian pada asal usul bahasa. Orang hanya take for granted bahwa bahasa hadir bersamaan
dengan kehadiran manusia, sehingga di mana ada manusia, di situ pula ada
bahasa. Jadi bahasa adalah given. Orang mulai menanyakan asal mula bahasa
ketika ada persoalan mengenai hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang
ditandai, hakikat makna, dan perbedaan makna kata yang mengakibatkan
kesalahpahaman. Para ahli lebih memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam
bahasa, perubahan bahasa, wujud bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa,
pengaruh bahasa, perencanaan bahasa, pengajaran bahasa, perolehan bahasa,
evaluasi dan sebagainya daripada melacak sejarah kelahirannya. Padahal dengan
mengetahui sejarah kelahirannya akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh
tentang bahasa.
Sebenarnya studi tentang bahasa,
termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony sudah lama dilakukan para
ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf, bahkan teolog. Tetapi
karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda, maka tidak diperoleh
pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Yang diperole justru
pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu bahasa, seperti sosiolinguistik,
psikolinguistik, antropolingusitik, filsafat bahasa dan sebagainya. Seolah tak
mau ketinggalan dengan para ahli sebelumnya, belakangan para neurolog dan
geolog juga mengkaji bahasa, sehingga muncul ilmu neurolinguistik dan
geolinguistik. Belakangan para ahli komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai
pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu seperti fonologi, morfologi, sintak,
semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya tidak mengherankan bahwa bahasa
akhirnya menjadi bahan kajian para ilmuwan dari berbagai disiplin. Ini sekaligus
membuktikan bahwa bahasa menjadi demikian penting dalam kehidupan manusia.
Tidak berlebihan jika seorang filsuf hermeneutika kenamaan gadamer mengatakan
bahwa bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa
akan diketahui pola pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan,
dan kondisi psikologis seseorang.
Namun demikian asal usul bahasa
atau sejarah bahasa tetap obscure dan studi tentang asal usul bahasa tidak
sesemarak bidang-bidang kebahasaan yang lain. Mengapa? Jawabannya sederhana dan
spekulatif. Sebab, karena tidak terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan
kapan sejatinya pertama kali bahasa digunakan oleh manusia, siapa yang memulai
dan bagaimana pula memulainya.
Alih-alih
menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para ahli bahasa
justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan bahasa
awal mula ada, di mana, bagaimana membuatnya dan siapa yang mengawalinya. Ungkapan yang lazim mengatakan
bahwa sejarah bahasa dimulai sejak awal keberadaan manusia. Dengan demikian,
sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Ada sedikit informasi
dari para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama
kali kurang lebih 3000 sm. Inipun dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa
bukti yang kuat.
Karena hasil studi tentang asal
usul bahasa dianggap tidak pernah memuaskan, malah ada yang bersifat mitos dan
main-main, maka menurut alwasilah (1990: 1) pada 1866 masyarakat linguistik
perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak
pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Perhatian dan waktu lebih baik
dipusatkan untuk mengkaji bidang-bidang lain yang hasilnya jelas dan tidak
spekulatif, seperti bidang kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan
sebagainya.
Namun demikian, terdapat beberapa
teori tentang asal usul bahasa, di antaranya bersifat tradisional dan mistis.
Misalnya, ada yang beranggapan bahwa bahasa adalah hadiah para dewa yang
diwariskan secara turun temurun kepada manusia, sebuah ungkapan yang sulit
diterima kebenarannya secara ilmiah dan nalar logis. Namun menurut pei (1971:
12) pada kongres linguistik di turki tahun 1934 muncul pendapat yang menyatakan
bahwa bahasa turki adalah akar dari semua bahasa dunia karena semua kata dalam
semua bahasa berasal dari giines, kata turki yang berarti “matahari”, sebuah
planet yang pertama kali menarik perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati
kebenarannya masih dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak
berlebihan. Sebab, dari sisi penggunanya bahasa turki dipakai tidak saja oleh
orang turki, tetapi juga oleh masyarakat di negara-negara bekas uni soviet,
seperti tajikistan, ubekistan, armenia, ukraina, dan sebagainya.
Sebuah
hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh darwin (1809-1882) menyatakan
bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni berawal dari
pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara, larynk,
hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-gerakan
tangan dan menimbulkan suara. Suara-suara ini kemudian dirangkai untuk menjadi ujaran
(speech) yang punya makna. Masih menurut darwin kualitas bahasa manusia
dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Artinya,
perbedaan antara bahasa manusia dan suara binantang itu sangat tipis,
sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang juga berbahasa. “all
social animals communicate with each other, from bees and ants to whales and
apes, but only humans have developed a language which is more than a set of
prearranged signals”. .
Bahasa manusia seperti halnya
manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang sangat primitif berawal dari
bentuk ekspresi emosi saja. Contohnya, perasaan jengkel atau jijik
diekspresikan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, sehingga
terdengar suara “pooh” atau “pish”. Oleh max miller (1823-1900), seorang ahli
filologi dari inggris kelahiran jerman, teori ini disebut poo-pooh theory,
kendati miller sendiri tidak setuju dengan pendapat darwin (alwasilah, 1990:
3).
Sebagian yang lain berpendapat
bahwa bahasa awalnya merupakan hasil imajinasi orang dengan melihat cara
jenis-jenis hewan atau serangga tertentu berkomunikasi. Misalnya, kumbang
menyampaikan maksud kepada sesamanya dengan mengeluarkan bau dan menari-nari di
dalam sarangnya. Semut berkomunikasi dengan antenenya.
Ada juga
teori “bow-wow” yang mengatakan bahwa bahasa muncul sebagai tiruan bunyi-bunyi
yang terdengar di alam, seperti nyanyian burung, suara binatang, suara guruh, hujan,
angin, ombak sungai, samudra dan sebagainya, sehingga teori ini disebut echoic
theory. Jadi
tidak berevolusi sebagaimana aliran teori darwinian di atas. Menurut teori
“bow-wow” ada relasi yang jelas antara suara dan makna, sehingga bahasa tidak
bersifat arbitrer. Misalnya, dalam bahasa indonesia ada kata-kata seperti:
menggelegar, bergetar, mendesis, merintih, meraung, berkokok dan sebagainya.
Contoh lainnya, misalnya, oleh sebagian masyarakat anjing disebut sebagai
“bow-wow” karena ketika menyalak suaranya terdengar “bow-wow”. Dengan berpikir
praktis, orang menamai binatang yang menyalak itu sebagai “bow-wow”.
Mirip teori “bow-wow”, ada juga
teori “ding-dong” atau disebut nativistic theory, yang dikenalkan oleh muller,
yang mengatakan bahwa bahasa lahir secara alamiah. Teori ini sama dengan
pendapat socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Menurut teori ini manusia
memiliki kemampuan insting yang sangat istimewa dan tidak tidak dimiliki oleh
makhuk yang lain, yakni insting untuk mengeluarkan ekspresi ujaran ketika
melihat sesuatu melalui indranya. Kesan yang diterima lewat bel bagaikan pukulan
pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Misalnya, sewaktu manusia
primitif dulu melihat serigala, maka secara insting terucap kata “wolf”.
Ada juga teori
“pooh-pooh” yang mengatakan pada awalnya bahasa merupakan ungkapan seruan
keheranan, ketakutan, kesenangan, kesakitan dan sebagainya. Ada teori “yo-he-ho” yang
mengatakan bahasa pertama timbul dalam suasana kegiatan sosial di mana terjadi
deram dan gerak jasmani yang secara spontan diikuti dengan munculnya bahasa.
Misalnya, ketika sekelompok orang secara bersama-sama mengangkat kayu atau
benda berat, secara spontan mereka akan mengucapkan kata-kata tertentu karena
terdorong gerakan otot.
Ada juga teori “seng-song” yang
mengatakan bahasa berawal dari nyanyian primitif yang belum terbentuk oleh
kelompok masyarakat. Selanjutnya nyanyian tersebut dipakai untuk menyampaikan
maksud atau pesan dan membentuk struktur yang teratur walau sangat sederhana.
Nenek moyang kita jutaan tahun lalu berbahasa dengan kosa kata dan tatabahasa
yang sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, sistem
lambang ini pun berkembang hingga akhirnya lahir bahasa tulis. Lewat bahasa
tulis, peradaban manusia berkembang menjadi demikian pesat. Dengan demikian,
bahasa terbentuk dan berkembang secara evolutif
Berbeda dengan aliran-aliran
primitif tersebut di atas, para filsuf yunani kuno, seperti pythagoras, plato,
dan kaum stoika berpendapat bahwa bahasa muncul karena “keharusan batin” atau
karena “hukum alam”. Disebut “keharusan batin”, karena bahasa hakikatnya adalah
perwujudan atau ekspresi dunia batin penggunanya. Lihat saja bagaimana bahasa
seseorang ketika sedang marah, bahagia, gelisah dan sebagainya. Semuanya
tergambar dalam bahasa yang diucapkan. Pendapat yang cukup masuk akal dan
menjadi dasar pemahaman orang tentang makna bahasa sampai saat ini muncul dari
filsuf seperti demokritus, aristoteles, dan kaum epikureja yang mengatakan
bahwa bahasa adalah hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat.
Sebab, sifat dasar manusia adalah keinginannya berinteraksi dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk itu, mereka memerlukan
sarana atau alat komunikasi. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana orang
melakukan perundingan atau persetujuan atas sesuatu sementara mereka belum
memiliki alat untuk itu. Apakah hanya menggunakan isyarat dengan anggota badan?
Sayangnya, teori ini berhenti sampai di sini.
Kendati teori tentang asal mula
bahasa masih kabur dan demikian beragam, dari yang bersifat mitos, religius,
mistis sampai yang agak ilmiah, menurut hidayat (1996: 29) secara garis besar
terdapat tiga perspektif teoretik mengenai asal usul bahasa, yakni teologik,
naturalis, dan konvensional. Aliran teologik umumnya menyatakan bahwa kemampuan
berbahasa manusia merupakan anugerah tuhan untuk membedakannya dengan makhluk
ciptaannya yang lain. Dalam al qur’an (2: 31) allah dengan tegas memerintahkan
adam untuk memberi nama benda-benda (tidak menghitung benda). Para penganut
aliran ini berpendapat kemampuan adam untuk memberi nama benda disebut tidak
saja sebagai peristiwa linguistik pertama kali dalam sejarah manusia, tetapi
juga sebuah peristiwa sosial yang membedakan manusia dengan semua makhluk
ciptaan tuhan yang lain. Tak bisa dipungkiri bahasa kemudian menjadi pembeda
yang sangat jelas antara manusia (human) dengan makhluk yang bukan manusia
(non-human).
Tentu saja pendapat ini bersifat
dogmatis dan karenanya tidak perlu dilakukan kajian secara ilmiah dan serius
tentang asal usul bahasa. Kehadiran bahasa diterima begitu saja, sama dengan
kehadiran manusia yang tidak perlu dipertentangkan. Karena bersifat teologik,
maka aliran ini terkait dengan keimanan seseorang. Bagi yang beragama islam
perintah allah kepada adam di atas harus diterima sebagai kebenaran, karena
tersurat dengan jelas di dalam kitab suci al qur’an. Sisi positif aliran ini
adalah kebenarannya bersifat mutlak dan karenanya tidak perlu diperdebatkan
karena berasal dari allah. Tetapi sisi negatifnya ialah aliran ini menjadikan
ilmu pengetahuan tentang bahasa tidak berkembang. Sebab, tidak lagi ada kajian
atau penelitian tentang asal usul bahasa. Padahal, penelitian merupakan
aktivitas ilmiah yang sangat penting untuk menjelaskan dan mencari jawaban atas
berbagai fenomena alam, sosial, dan kemanusiaan termasuk fenomena bahasa. Lebih
dari itu, penelitian merupakan aktivitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Tidak pernah ada ilmu pengetahuan
berkembang tanpa penelitian. Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang
pesat dibarengi dengan kegiatan penelitian secara intensif. Misalnya, ilmu
kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan sebagainya.kemajuan pesat pada
ilmu-ilmu itu beberapa dasawarsa belakangan ini karena kegiatan penelitian yang
begitu intensif di bidang itu.
B. Defenisi bahasa dan filsafat
Menurut keraf dalam smarapradhipa
(2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan
bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi
yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Lain halnya menurut owen dalam
stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as
a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations
of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara
sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan
simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh
ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa
yang diungkapkan oleh tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa.
Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk
sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka
atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut santoso (1990:1), bahasa
adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
Definisi lain, bahasa adalah suatu
bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau
sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian
banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh mackey (1986:12).
Menurut
wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan
berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional,
yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran.
Hampir senada dengan pendapat
wibowo, walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang
paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan
pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi
bahasa diungkapkan oleh syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian
bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan
perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk
mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari
kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan
bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
Sementara pengabean (1981:5),
berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan
apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir dari makalah singkat
tentang bahasa ini diutarakan oleh soejono (1983:01), bahasa adalah suatu
sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Sedangkan filsafat, jika dilihat
dari ilmu asal-usul kata (etimologi), istilah filsafat diambil dari kata
falasafah yang berasal dari bahasa arab. Istilah ini diadopsi dari bahasa
yunani, yaitu dari kata “philosophia´
Kata philosophia terdiri dari kata
philein yang berarti cinta (love), dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom).
Dengan demikian, secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan
(love of wisdom) secara mendalam. Dari sini terdapat ungkapan yang menyatakan
bahwa filosof (filsuf, failasuf) adalah seorang yang sangat cinta akan
kebijaksanaan secara mendalam. Dan kata filsafat pertama kali digunakan oleh
phytagoras (582-496 m). Selanjutnya berikut ini beberapa penjelasan mengenai
filsafat menurut para ahli yaitu bahasa; a) filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli (plato), b) filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politi k, dan estetika
(aristoteles), c) filasafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam amaujud
bagaimana hakikat yang sebenarnya (al-farabi), d) filsafat adalah sekumpulan
segala pengetahuan dimana tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan
(rene decrate), e) filasafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal
dari segala pengetahuan, yang didalamnya mencakup masalah epistemology mengenai
segala sesuatu yang kita ketahui ((immanuel kant), f) filasafat adalah berpikir
tentang masalah-malasah yaitu tentang makna keadaan, tuhan, keabadian, dan
kebebasan (langeveld), g) filasafat adala ilmu yang menyelidiki tentang segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia (hasbullah
bakri), h) filasafat adalah pemerenungan terhadap sebab-sebab “ada” dan berbuat
tentang kenyataan (reality) sampai pada akhir (n. Driyarka), i) filsafat adalah
hal-hal yang menjadi objek dari sudut intinya yang mutlak dan yang terdalam
(notonagoro), j) filasafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka (ir.
Paedjawijata), k) filsafat adalah ilmu yang selalu mencari yang hakiki baik
masalah ketuhanan, realita yang dialami baik dari subjek yaitu manusia maupun
dari objeknya yaitu alam (muhsyanur syahrir).
C. Esensi bahasa ditinjau dari
segi filsafat
1. Bidang-bidang khusus yang
dikaji dalam filsafat bahasa
A) filsafat analitik
Filsafat analitik atau filsafat
linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada
preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan
pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas
mendasar filusuf.
Akar-akar analisis linguistik ditanam
di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama gottlob frege. Frege
memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses
penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika
sebetulnya bias direduksi kedalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus
selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan
dengan jelas. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan
tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh aristoteles, asalkan
makna para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik.
Seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang berpengaruh
adalah membuat perbedaan “arti” (sense) proposisi dan “acuannya”
(referenci)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makan bahwa
apabila mempunyai arti sekaligus acauan. (ide ini mengandung kemiripan yang
menonjol, secara kebetulan dengan pernyataan kant bahwa pengetahuan hanya
muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi).
B) filsafat sintetik
Tekanan yang berlebihan pada
logika analitik dalam filsafat, seperti yang telah kita amati, sering
menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam pencarian sistem
ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk
memainkan peran dalam berfilsafat barangkali sebanding dengan sejauh mana
mereka mengakui berapa bentuk logika sintetik sebagi komplemen sebagai analitik
yang sah. Contoh: yesus mengalami hubungan antara bapak da putra, sehingga ia
mgajari pengikut-pengikutnya agar berdo’a kepada bapak mereka yang di surga.
C) filsafat hermeneutik
Aliran utama filsafat ketiga pada
abad kedua puluh meminjam namanya, dengan alas an yang baik, mengingat sifat
mitologis ini. Sebgaiman tugas hermes ialah mengungkapkan makna tersembunyi
dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami
persoalan paling dasar dalam kajian ilmu tentang logika atau filsafat bahasa:
bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan
pesan-pesan ucapan atau tulisan. Filsafat hermeneutic memilik akar yang dalam
di kebudayaan barat. Bahkan, aristoteles sendiri menulis buku berjudul peri hermeneias
(tentang interpretasi), walau ini lebih berkenan dengan pertanyaan-pertanyaan
dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita kaitkan dengan
hermeneutika.
Karya pertama yang berusaha secara
praktis obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah
introduction to the correct interpretation of reasonable discourses and book
(1742), karya johann chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika
sebagai seni pemorelahan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan
entah tulisan), ia mengsulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti: (1)
pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis; (2) aturan logika
yang tak bisa berubah dari aristotelian harus digunakan untuk menagkap makna
setiap kalimat; (3) “perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus
ditanamkan di dalam benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda
tentang peristiwa atau pandangan yang sama.
2. Hubungan bahasa dan pengetahuan
bahasa
Relasi antara hubungan bahasa dan
pengetahuan bahasa dapat dikatakan sebagai hubungan kausalitas. Dan di dalam
perkembangannya, bahasa sudah dijadikan obyek menarik bagi perenungan,
pembahasan dan penelitian dunia filsafat. Selai bahasa mempunyai daya tarik
tersendiri, ia juga memiliki kelemahan sehubungan dengan fungsi dan perannya
yang begitu luas dan kompleks, seperti ia tidak bisa mengetahui dirinya secara
tuntas dan sempurna, sehingga filsafatlah yag memberikan pengetahuan pada
dirinya.
3. Filsafat dapat dikaji melalui
tiga aspek yaitu, epistemology, antologi dan aksiologi.
A) epsitemologi (asal mula) adalah
pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan (ilmiah). Epistemologi juga membahas bagaimana menilai
kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan
teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan
dipercaya. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Jika seseorang
ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang
digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini
atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar
kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum
tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah
sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Secara umum dapat difenisikan
sebagai lambang. Pengertian lain dari bahasa adalah alat komunikasi yang berupa
sistem lambang yang dihasilkan oleh alat ucap pada manusia. Perlu kita ketahui bahwa
bahasa terdiri dari kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai
makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau
konsep yang diwakili kumpulan kata atau kosa kata itu oleh ahli bahasa disusun
secara alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai dengan penjelasan artinya
dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.
Pada waktu kita berbicara atau
menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu
saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran
atau perasaan, kita harus memilihkata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata
itu sesuai dengan aturan bahasa. Seperangkat aturan yang mendasari pemakaian
bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yang disebut
tata bahasa.
Untuk selanjutnya yang berhubungan
dengan tata bahasa akan dibahas lebih detail lagi yaitu tentang fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik dan etimologi. Pengertian dari fonologi ialah
bagian tata bahasa yang membahas atau mempelajari bunyi bahasa. Morfologi
mempelajari proses pembentukan kata secara gramatikal beserta unsur-unsur dan
bentuk-bentuk kata. Sintaksis membicarakan komponen-komponen kalimat dan proses
pembentukannya. Bidang ilmu bahasa yang secara khusus menganalisis arti atau
makna kata ialah semantik, sedang yang membahas asal-usul bentuk kata adalah
etimologi.
B) ontologikal (objek atau
sasaran) membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis.
Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai
benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa
dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
Rizal mustansyir menyebutkan bahwa
objek material filsafat bahasa adalah kefilsafatan atau bahasa yang
dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formal filsafat bahasa menurutnya,
ialah pandangan filsafati atau tinjauan secara filsafati.
C) semantikal / aksiologi (nilai
dan fungsi) meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai dalam seluruh
aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang
ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Salah satu aspek penting dari
bahasa ialah aspek fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama bahasa.
4. Ciri-ciri bahasa universal
A) bahasa itu mempunyai bunyi
bahasa yang terdiri dari vocal dan konsonan. Misalnya, bahasa indonesia
mempunyai 6 vokal dan 22 konsonan, bahasa arab mempunyai tiga vocal pendek dan
tiga vocal panjang serta 28 konsonan (al-khuli 1982;321); bahasa inggris
memiliki 16 buah vocal dan 24 konsonan (al-khuli 1982: 320).
B) bahasa mempunyai satuan-satuan
bahasa yang bermakna, entah kata, frase, kalimat dan wacana.
5. Para ahli bahasa dan
pandangannya terhadap bahasa
A) ferdinand de saussure sangat
menekankan bahwa tanda-tanda bahasa secara bersama membentuk system; bahwa langue,
dengan kata lain berwatak sistematik dan structural. Dengan pandangan terhadap
sistematika bahasa ini de saussure telah menjalankan pengaruh yang dahsyat. Hal
ini mengisyaratkan bahwa sistem bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral,
namun juga mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan
sosio budaya dari kehidupan manusia.
B) noam chomsky berpendapat suatu
bahasa yang hidup ditandai oleh kreativitas yang dituntut oleh aturan-aturan.
Aturan-aturan tata bahasa nyata bertalian dengan tingkah laku kejiwaan, manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dapat belajar bahasa, bahasa yang hidup adalah
bahasa yang dapat dipakai dalam berpikir.
C) benyamin lee dan sapir
hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa
yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang
menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa
hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi
tertentu. Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita
memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
D. Hubungan bahasa dengan filsafat
Sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa di antara fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan
suatu gagasan kepada orang lain. Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak
akan diketahui oleh khalayak manakalah tidak dikomunikasikan melalui bahasa.
Bahasa tidak saja
sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, tetapi
jangan lupa, bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya,
bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Sekelompok
manusia atau bangsa yang hidup dalam kurun waktu tertentu tidak akan bias
bertahan jika dalam bangsa teresbut tidak ada bahasa. Kearifan melayu mengatakan :
“bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi
bahasa dalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat
manusia.
Karena itu, siapa pun orang akan
senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa. Seorang filosofi,
misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada bahasa. Fakta telah menunjukkan
bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak
dapat dilakukan tanpa bahasa. Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat
adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bias
mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Tanpa bantuan
bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buak pikiran kefilsafatan.
Louis o.
Katsooff berpendapat bahawa suatu system filsafat sebenarnya dalam arti tertentu
dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat
dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa
senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ia bagaikan
gula dengan manisnya. Keduanya memiliki cinta yang sejati, sebuah cinta yang
tidak mengetengahkan dimiliki dan memiliki. Hal ini karena bahasa pada
hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama
adalah mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di
alam semesta ini. Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia
symbol-simbol tersebut.
Dari uraian
di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi
yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hokum kausalitas (sebab musabbab dan
akibat) yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof
(ahli filsafat), baik secara langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan
bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan
dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan akhir-akhir ini “bahasa” telah dijadikan sebagai
objek yang sangat menarik bagi perenungan, pembahasan dan penelitian dunia
filsafat. Hal ini selain bahasa memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan
objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-kelemahan tertentu
sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks. Salah satu
kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna,
sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
Realitas semacam itulah,
barangkali yang mendorong para filosof dari tradisi realisme di inggris mengalihkan
orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang telah
dilakukan oleh george more (1873-1958), bertrand russel (1872-1970), ludwig
wittgenstein (1889-1951), alfref ayer (1910- ), dan yang lainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru
dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.
Sebagaimana dijelaskan bahwa
filsafat bahasa bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Hubungan bahasa dengan
filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan sejak zaman yunani.
Para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan
melalui suatu analisis bahasa.
E. Kelemahan-kelamahan bahasa
Karena fungsi dan peranan bahasa
begitu luas dan kompleks bagi kehidupan umat manusia, maka kita akan
diperhadapkan pada kesulitan yang sangat berarti mengenai bahasa. Kesulita itu
ialah, bahasa bahasa dalam realitasnya memiliki kelemahan-kelamahan.
Kelemahan-kelamahan itu ditimbulkan oleh si pemakai bahasa atau kelemahan yang
timbul dari diri bahasa itu sendiri.
Diantar a kelemahan-kelemahan dari
bahasa itu akan diurai dalam pembahasan berikut ini :
Pertama, bahasa sebagai suatu
system symbol ternyata tidak dapat mengungkap seluruh realitas yang ada di
dunia ini. Ketidakmampuannya itu karena realitas-realitas itu pada dasarnya
merupakan symbol-simbol yang mesti diberi makna. Juga seperti yang diungkapkan
wittgenstein, bahwa karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang
menggunakan bahasa tidak termasuk menggambarkan dunia. Seperti mata tidak dapat
diarahkan kepada dirinya sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa
tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
Kedua, bahasa ketika digunakan
oleh pengguna bahasa seringkali memiliki kecendrungan emosional dan tidak
terarah. Meskipun bahasa digunakan dalam konteks ilmiah. Kita sering
mengemukakan kata-kata (bahasa) yang digunakan dalam perdebatan ilmiah kurang mengandung
arti yang pasti dan rasional yang dapat berakibat timbulnya tidak masuk akal,
terutama apabila suatu argument tergantung pada rangsang emosi dan tidak
memberikan informasi yang logis.
Ketiga, sering dijumpai
ungkapan-ungkapan bahasa dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan tertentu,
seperti kepentingan kampanye politik, ras, suku, doktrin ajaran tertentu, dan
lain-lain. Dalam ilmu bahasa peristiwa itu lazim disebut dengan istilah
“eufemisme” bahasa, yaitu ungkapan yang lebih luas sebagai pengganti yang
dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya kata
“meninggal dunia” untuk mati, wanita untuk “perempuan”, ”kupu-kupu malam” untuk
“wanita pelacur”, dan “tuna wisma” untuk orang yang tidak memiliki tempat
tinggal.
Keempat, suatuu ungkapan bahasa
sering dijumpai menibulkan arti ganda, karena tidak semua ungkapan bahasa mampu
melukiskan satu arti. Kegandaan arti tersebut biasanya ditimbulkan oleh
istilah-istilah yang goyah atau lemah rumusan atau masalahnya.
Kelima, ungkapan bahasa sering
juga menimbulkan banyak arti atau arti yang sama. Penggunaan istilah untuk
lebih dari satu arti, sementara kesan yang diberikan untuk mengatakan hanya
satu arti yang sama dalam perdebatan. Kekeliruan atau kelemahan tadi adalah
akibat dari anggapan yang salah bahwa kata itu digunakan sepanjang diskusi
tertnetu untuk memberikan arti yang tunggal.
Keenam, bahasa tidak selamanya
mampu memberikan respon, seperti selama ini dianggap sebagian besar orang bahwa
ungkapan-ungkapan bahasa yang dilontarkan akan senantiasa memebrikan respons
sesuai dengan keinginan si pemakai. Tetapi dalam kenyataannya sering
uangkapan-ungkapan bahasayang dilontarkan oleh si pemakai tidak memberikan
respons sebagaimana yang diinginkan. Seorang perjaka, misalnya, ia menegur
seorang gadis cantik yang selama ini ia idam-idamkan. Tetapi karena kgadis
terebut tidak mencintainya, maka teguran dan sapaan tidak direspons sesuai
dengan yang diharapkan. Bagi si perjaka mungkin sapaan tersebut merupakan
ungkapan rasa cinta, tapi bagi si gadis ungkapan itu dianggap teguran biasa
disamping jalan.
Ketujuh,
anggapan bahwa setiap ide yang akan diungkapkan oleh pemakai bahasa itu ada
kata atau istilah yang tersedia. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengidentifikasikan
arti sebuah istilah atau ungkangapn dengan ide-ide yang menimbulkan dan juga
ditimbulkan oleh ungkapan atau istilah tersebut. Padahal dalam ungkapan
sehari-hari kita sering menjumpai ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak
ditimbulkan oleh ide apapun. Misalnya, ungkapan penghubung “yang”, ungkapa
pengandaian “jika” “dan yang lainnya (kata-kata semacam itu dinamakan
syntegorematic), yaitu kata-kata yang tidak dapat dikatakan timbul ole hide-ide
tertentu.
Kedelapan, banyak orang yang
beranggapan bahwa setiap kata yang diungkapkan itu me-refer atau mengacu kepada
suatu objek yang konkrit, empiric, dan dapat dibuktikan secara empiric. Padahal
banyak kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan kita sehari-hari yang tidak
mengacu kepada objek yang konkrit ada di dunia. Misalnya, ungkapan kata “al-
jannah” (surga) dan “al-nar” (neraka) yang diambil dari untaian firman tuhan
dalam kitab suci. Kata-kata ini susah untuk dibuktikan sebagai sesuatu ungkapan
yang mengacu kepada dunia konkri. Bahkan mungkin untuk sebagian orang yang
tidak mempercayainya ungkapan-ungkapan itu hanyalah ungkapan kosong yang tidak
mengandung makna apapun.
Demikianlah beberapa kelemahan
dalam bahasa (bahasa manusia) yang dapat dijelaskan dalam pasal ini. Saya yakin
masih banyak kelemahan-kelamahan lainnya yang belum bias diungkapkan dalam
tulisan ini. Kelemahan-kelemahan itu sebenarnya bias dibatasi oleh si pemakai
bahasa itu sendiri.
F. Fungsi filsafat terhadap bahasa
Kita pada
maklu bahwa kerja filsafat adalah dimulai dari suatu peranyataan kritis tantang
sesuatu realitas yang tidak hanya mempertanyakan tentang dunia yang konkrit,
tetapi juga sebagian realitas yang oleh sebagian orang dianggap tabu untuk
dipertanyakan. Bagi filsafat seluruh realitas adalah layak untuk
dipertanyakan.. Bagi filsafat pertanyaan itu bukanlah sekedar bertanya, tapi
diharapkan berupa pertanyaan yang kritis tentang apa saj.
Kemudian, untuk apa pertanyaan itu
diajukan? Ya tentu saja untuk mencari jawaban dari pertanyaan teresbut.
“filsafat harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan haru
ikut mencari jawaban yang benar”, kata franz magnis-suseno. Atau seperti kata
robert spaemann : ”yang baik tidak dapat terletak dalm pertanyaan sendiri,
melainkan harus dalam jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo
dulu, dari socrates sampai ibnu rusd dari andalusia.
Berikut ini akan dikemukakan
beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan analisis atau kerja filsafat dalam
memahami dan memecahkannnya, antara lain :
1. Masalah “bahasa’ pertama dan
mendasar adalah apa hakikat bahasa itu ? Mengapa bahasa itu harus ada pada
manusia dan merupakan cirri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu, dan
bagaimana hubungan antara “bahasa” dan “manusia” itu.
2. Apakah perbedaan utama antara
“bahasa” manusia dan bahasa di luar manusia, seperti bahasa binatang dan atau
bahasa makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula perbedaannya.
3. Apa yang dimaksud dengan bahasa
yang bermakna dan bahasa yang benar itu. Apa pula criteria kebenaran bahasa
itu. Apakah betul bahasa kitab suci bukan suatu bahasa yang tidak bermakna.
Criteria apa dari kebenaran bahasa kitab suci itu?
4. Apa hubungan antara bahasa dan
akal, dan juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati, intuisi dan fenomena
batin manusia lainnya.
5. Bisakah manusia berhubungan dengan
bahasa-bahasa di luar manusia. Bahasa apa yang digunakannya, dan bagaimana kita
mempelajarinya.
Problem-problem tersebut,
merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika kebahasaan, yang dalam
pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang dalam dan sistematis atau
analisis filsafat.
Agar ada sedikit gambaran, berikut
ini akan diuraikan secara singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa
dan filsafat. Daiantaranya adalah sebagai berikut :
1) filsafat, dalam arti analisis
filsafat merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para filosof dan ahli
filsafat dalam memecahkan , seperti mengenai apakah hakikat bahasa itu, atau
pernyataan dan ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat dikategorikan ungkapan
bahasa bermakna dan tidak bermakna.
2) filsafat, dalam arti pandangan
atau aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat idealism,
rasionalisme, realism, filsafat analitif, neo-posotovisme, strukturalisme,
posmodernisme, dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa
dalam mengembangkan teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi
dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang
telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut.
Sebut saja “sausurian”, adalah suatu aliran linguistic dan ilmu sastra yang
dikembangkan di atas bangunan filsafat strukturalisme ferdinand de saussure.
3) filsafat, juga berfungsi member
arah agar teorai kebahasaan yang telah dikembangkan para ahli ilmu bahasa, yang
berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, memiliki
relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
4) filsafat, termasuk juga
filsafat bahasa, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam
pengembangan teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau ilmu
sastra. Suatu teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat
tertentu, akan menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini
akan sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.
Berrdasarkan
uraian tersebut, jelaslah bahwa filsafat memiliki fungsi yang sangat luas dan
berharga bagi pengembangan ilmu bahasa maupun bahasa itu sendiri. Fakta sejarah menginformasikan
kepada kita bahwa teradapat hubungan yang erat antara bahasa dan filsafat.
Diberitakan pula bahwa ajaran dan metode tertentu dari suatu aliran filsafat
telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan bahasa.
Salah satunya adalah ajaran ariestoteles tentang 10 kategori yang telah diadopsi
oleh para ahli baha menjadi 10 jenis kata, seperti kata benda, kata kerja, kata
sifat, dan yang lainnya. Begitu juga mengenai logika induksi dan deduksi telah
dijadikan sebagai standar kebenaran suatu ungkapan bahasa yang diwujudkan dalam
bentu-bentuk kalimat.
G. Peranan filsafat bahasa dalam
pengembangan bahasa
Kegunaan
(peranan) filsafat bahasa itu sangat penting pada pengembangan ilmu bahasa
karena filsafat bahasa itu adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakekat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Jadi pengetahuan dan penyelidikan
itu terfokus kepada hakekat bahasa, juga sudah termasuk perkembangannya. Pada
dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran yang pokok
yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Aliran
filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bilamana
dibandingkan dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas,
baik di inggris, jerman dan perancis maupun di amerika. Aliran ini dipelopori
oleh wittgenstein. Aliran filsafat bahasa biasa juga mempunyai
kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Kekaburan makna
2. Bergantung pada konteks
3. Penuh dengan emosi
4. Menyesatkan
Untuk
mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka
perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa
yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini adalah bertrand
russell.
Menurut kelompok filsuf
ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat
mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari ini.
Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan
mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dasar tentang
struktur metafisis dan realitas kenyataan dunia yang menjadi perhatian yang
terpenting adalah usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu
membuktikan bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum
tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai suatu bidang filsafat
khusus, filsafat bahasa mempunyai kekhususannya, yaitu masalah yang dibahas
berkenaan dengan bahasa. Jadi peranan filsafat bahasa jelas sangat penting,
atau berpengaruh terhadap pengembangan ilmu bahasa. Namun berbeda dengan ilmu
bahasa atau lingkungan yang membahas ucapan tata bahasa, dan kosa kata,
filsafat bahasa lebih berkenaan dengan arti kata atau arti bahasa (semantik).
Masalah pokok yang dibahas dalam filsafat bahasa lebih berkenaan dengan
bagaimana suatu ungkapan bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafat
tidak lagi dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika
teknis, baik logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada
penggunaan bahasa biasa. O1eh karena itu mempelajari bahasa biasa menjadi syarat
mutlak bila ingin membicarakan masalah-masalah filsafat, karena bahasa
merupakan alat dasar dan utama untuk berfilsafat.
Di dalam
pengembangan bahasa banyak ditemui kata-kata yang bersinonim, ini membuktikan
bahwa bahasa itu berkembang sehingga banyak kata yang bersinonim. Begitu juga
akibat perkembangan bahasa itu timbul kata-kata baru, yang singkat dan tepat,
dan mewakili kata-kata yang panjang, seperti kata canggih, dahulu kata canggih
belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang panjang. Cukup kita mengatakan canggih
saja, di dalam dunia modern, masa kini. Selanjutnya kata rekayasa, dahulu kata
rekayasa. Tidak ditemukan, sekarang timbul untuk mewakili kata-kata yang
panjang yaitu penerapan kaidah-kaidah ilmu seperti perancangan, membangun,
pembuatan konstruksi. Selanjutnya kata monitor atau memantau dahulu kata
monitor (memantau) belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang
panjang, yaitu mengawasi, mengamati, mengontrol, mencek dengan cermat, terutama
untuk tujuan khusus
BAB III
Penutup
Simpulan
Berdasarkan pemaparan dari bab
pembahasan diatas maka adapun yang dapat ditarik sebagai kesimpulan pada
halaman ini yaitu :
Pengertian bahasa menurut beberapa
ahli :
1. Menurut keraf dalam
smarapradhipa (2005:1)
- bahasa adalah alat komunikasi
antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia.
- bahasa adalah sistem komunikasi
yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
2. Owen dalam stiawan (2006:1)
Bahasa adalah sebagai kode yang
diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep
melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol
yang diatur oleh ketentuan.
3. Tarigan (1989:4)
- bahasa adalah suatu sistem yang
sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif.
- bahasa adalah seperangkat
lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
4. Menurut santoso (1990:1)
Bahasa adalah rangkaian bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
5. Mackey (1986:12)
Bahasa adalah suatu bentuk dan
bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak
sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem.
6. Menurut wibowo (2001:3)
Bahasa adalah sistem simbol bunyi
yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat
arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
7. Walija (1996:4)
Bahasa ialah komunikasi yang
paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan
pendapat kepada orang lain.
8. Syamsuddin (1986:2)
- bahasa adalah alat yang dipakai
untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat
yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.
- bahasa adalah tanda yang jelas
dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga
dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
9. Pengabean (1981:5)
Bahasa adalah suatu sistem yang
mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
10. Soejono (1983:01)
Bahasa adalah suatu sarana
perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
Esensi bahasa ditinjau dari segi
filsafat
1. Bidang-bidang khusus yang
dikaji dalam filsafat bahasa
D) filsafat analitik
E) filsafat sintetik
F) filsafat hermeneutik
2. Hubungan bahasa dan pengetahuan
bahasa
3. Filsafat dapat dikaji melalui
tiga aspek yaitu, epistemology, antologi dan aksiolog
4. Ciri-ciri bahasa universal
5. Para ahli bahasa dan pandangannya terhadap bahasa
Terima Kasih Anda Telah Membaca Makalah
5. Para ahli bahasa dan pandangannya terhadap bahasa
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Abdullah. 1986. Intisari
Tata Bahasa Indonesia. Bandung: Djatnika.
Abidin Zainal.2000. Filsafat
Manusia. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya.
Filsafat Hukum {Mencari Dan
Menemukan Dan Memahami Hukum} Dr. Dominikus Rato, Sh.M.S.I. Cetakan 1laksbang
Justita
Pangabean, Maruli. 1981. Bahasa
Pengaruh Dan Peranannya. Jakarta: Gramedia.Walija. 1996. Bahasa Indonesia Dalam
Perbincangan. Jakarta: Ikip Muhammadiyah Jakarta Press.
Santoso, Kusno
Budi.1990.Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Syamsuddin, A.R. 1986. Sanggar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka Jakarta.
Slametmuljana. Prof. Dr. 1982.
Asal Usul Bahasa Dan Bahasa Nusantara Jakarta: Balai Pustaka.
S. Suriasumantri. Jujun.2007.
Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer).Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Surajiyo,Drs.2007. Filasafat Ilmu
Dan Perkembangannya Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suparlan
Suhartono,Ilyya Muhsin, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2009
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen
Bahasa. Jakarta: Gramedia. Ahmad Asep.2006. Filsafat Bahasa. Bandung : Pt.
Remaja Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment